DomaiNesia

Tarik Ulur Ekspor Benur Era Susi, Edhy, hingga Trenggono

Tarik Ulur Ekspor Benur Era Susi, Edhy, hingga Trenggono


 Jakarta, CNN Indonesia -- 

Kebijakan ekspor benih bening lobster (BBL) atau yang dikenal dengan istilah benur akan dilarang lagi. Keputusan ini langsung diutarakan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono.

Rencana ini pun menjadi sorotan karena kebijakan soal ekspor benur sempat berubah-ubah dalam beberapa tahun terakhir.

Di era menteri kelautan dan perikanan Kabinet Kerja Susi Pudjiastuti, ekspor benur dilarang. Susi menolak ekspor komoditas ini karena tidak rela bila kekayaan alam Indonesia harus diekspor dalam bentuk benih, bukan lobster siap konsumsi.

Saya memang tidak rela bibit lobster diekspor. Saya rakyat biasa yang tidak rela bibit diekspor," ungkap Susi melalui cuitan di Twitter pribadinya pada Juli 2020 lalu.



Menurutnya, kekayaan alam Indonesia berupa benur harus tetap ada di dalam negeri melalui program budi daya, baru kemudian diperjualbelikan ketika sudah berukuran besar.

Ia pun menerbitkan larangan ekspor benur berupa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/Permen-KP/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Ranjungan (Portunus spp) dari Wilayah Negara Republik Indonesia.

"Pemerintah membuat regulasi untuk melindungi dan menjaga keberlanjutan sumber daya perikanan kita. Untuk siapa? Untuk kita semua dan generasi yang akan datang. Jangan sampai generasi mendatang tidak bisa lagi menangkap lobster di perairan Indonesia karena eksploitasi yang berlebihan," katanya.

Namun, ketika Susi lepas dari jabatan menteri, kebijakan ini diubah oleh Edhy Prabowo, menteri kelautan dan perikanan di era Kabinet Indonesia Maju.

Izin ekspor benur dituangkan Edhy dalam Peraturan Menteri KKP Nomor 12/Permen-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia. Aturan itu ditetapkan sejak 4 Mei 2020.

Bagi Edhy, ekspor benur sah-sah saja asal dilakukan dengan syarat-syarat yang ketat. Misalnya, kuota dan lokasi penangkapan benur harus sesuai dengan hasil kajian dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas KAJISKAN).

Lalu, eksportir juga harus melaksanakan kegiatan pembudidayaan lobster di dalam negeri dengan melibatkan masyarakat. Ekspotir juga hanya boleh melakukan pengiriman ekspor melalui bandara yang telah ditetapkan.



Kemudian, benih lobster harus diperoleh dari nelayan kecil yang terdaftar dalam kelompok nelayan di lokasi penangkapan dan waktu ekspor dilakukan berdasarkan ketersediaan stok di alam.

Selanjutnya, eksportir harus terdaftar di direktorat jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan tangkap. Terakhir, ekspor benur akan dikenakan kewajiban membayar bea keluar dan/atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP) untuk tiap satu ekor benih lobster.

Edhy pun berdalih bahwa izin ekspor benur ini sejatinya untuk menyejahterakan nelayan. "Yang paling penting, izin itu dibuat untuk kesejahteraan, manfaat atau tidak ke masyarakat," kata Edhy, Juli 2020.

Ia membantah bila izin ekspor ini semata-mata hanya untuk menguntungkan para pengusaha besar. Sebab, budi daya pun sebenarnya tetap perlu dilakukan oleh para pengusaha dan nelayan.

"Ini bukan ngomong pengusaha besar. Banyak rakyat-rakyat juga yang punya cantrang. Semangat kami adalah bagaimana nelayan yang selama ini hidup dari kegiatan ini, gara-gara itu mati, dimatikan karena tidak boleh, kita hidupkan lagi supaya mereka bisa makan, bisa menyekolahkan anaknya dan bisa membangun daerahnya," jelasnya.

Namun, baru sekitar beberapa bulan izin ekspor benur dikeluarkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan menghentikan kegiatan ekspor benur karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menciduk Edhy. Edhy diduga terlibat korupsi dalam penetapan penetapan izin ekspor baby atau benih lobster.

Saat ini, kepemimpinan Edhy telah digantikan oleh Sakti Wahyu Trenggono. Baru-baru ini, Trenggono mengungkapkan bakal melarang ekspor benur ke depan.

"Sudah pasti saya akan melarang ekspor benur. Jadi hanya boleh dibudidayakan sampai ukuran konsumsi," katanya.

Alasannya, benur merupakan kekayaan alam Indonesia. Selain itu, ia ingin lobster diekspor ketika sudah berukuran siap konsumsi, sehingga ada nilai tambah yang bisa dinikmati Indonesia dari komoditas itu.



"Karena nilai tambahnya (benur) itu adalah di ukuran konsumsi," ucapnya.

Menurutnya, bila Indonesia mengekspor benur justru akan merugi. Sementara negara yang membeli benur justru untung, meski ia mengaku tidak tahu berapa harga benur di pasar ekspor yang selama ini dijual.

"Itu yang kaya itu negara yang membeli karena dia tahan satu tahun saja, dia sudah bisa mendapatkan angka yang berpuluh-puluh, beratus-ratus persen kenaikannya," katanya.

Kendati begitu, belum ada aturan hukum secara jelas yang dikeluarkan Trenggono untuk menetapkan rencana pelarangan ekspor benur tersebut.

Src

Load comments